Kecerdasan
Sahabat Menulis Kata Mi’ah (مائة)
Sejak kecil saya sangat penasaran, "Kenapa kok kata مائة tulisannya ada alifnya
padahal ia tidak dibaca?". Alhamdlillah, akhir-akhir ini saya mulai faham
kenapa kok ditulis demikian dalam Al-Qur'an. Bahkan darisini saya mengagumi
kecerdasan dan kehebatan para sahabat para pemulis Al Qur'an r.a. di dalam
mengumpulkan bacaan yang berbeda-beda dalam satu kata sebagia isyarat.
Sebelum saya paparkan, saya ingin membuat 2 kesimpulan dulu sebagaimana pada
tulisan sebelumnya:
1.
Alif pada
kata مائة ada kaitannya dengan
perubahan baca dalam ilmu qira’at
2. Ada 2
pendapat yang mengatakan, bahwa penulisan Al Qur'an tauqifi (perintah nabi) dan
taufiqi (ijtihad)
Tapi kali ini saya tidak akan terlalu fokus pada 2 hal tersebut
karena pada tulisan yang lalu pernah saya bahas. Saya ingin lebih fokus kenapa
kok pake alif? Kok bukan Ya' saja mengikut harakat kasroh pada mim sebelumnya?
Dalam ilmu tajwid kita mengenal kaidah mad thobii berikut:
-
Jika sebuah
huruf berharakat dhommah maka huruf madnya adalah wau.
-
Jika sebuah
huruf berharakat fathah maka huruf madnya adalah alif
-
Jika sebuah
huruf berharajat kasroh maka huruf madnya adalah ya'
Contoh dari ketiga kaidah di atas bisa didapati pada kalimat Al-Qur'an:
نُوْحِيْهَا
Ok, saya mulai...
1.
Kenapa kok
harus ada alif padahal ia tak dibaca?
Sekali lagi, bahwa Ini berkaitan
dengan ilmu Qiraat. Imam abu Ja'far membaca kata مائة (baca: mi ah) dengan
(miyah), hamzah dirubah ya' total. Sedangkan Imam Hamzah membacanya juga sama
(miyah) namun ketika waqaf saja.
2.
Kenapa kok
gak ditulis مِيَةْ saja langsung biar bisa
dibaca?
Iya, karena dalam kata ini ada
perbedaan baca. Imam Ashim (bacaan kita sehari-hari) membacanya: Mi ah. Untuk
menggabungkan 2 cara baca antara "Mi ah & Miyah" inilah maka para
sahabat kala itu dengan kecerdasannya merumuskan, “Bagaimana caranya 1 kata
dapat memberi pengertian ada 2 bacaan?".
Andai para sahabat menulis demikian مئة atau demikian مية niscaya akan dipahami
bahwa Al-Qur'an turun hanya dalam satu bahasa saja.
3.
Lah, kok
huruf yang dijadikan pembeda bacaan ا (alif) bukan و (wau) atau ي (ya') saja?
Memakai alif karena huruf setelah alif adalah hamzah yang
berharakat fathah (مائَة). Karena fathah identik dengan alif sebagamana qaidah mad
diatas, maka aliflah yang menjadi pilihan sahabat r.a.
Andai kata yang digunakan adalah ya'
demikian ميئة maka akan terjadi
perubahan bacaan yaitu mad wajib 4 harakat, sebagaimana pada kata سِيْءَ (si i i i a) karena
syarat terjadinya mad 4 harakat adalah huruf mad ( ا و ي ) bertemu dengan hamzah
setelahnya. Namun para sahabat tidak memakainya karena bacaan yang ditalaqqikan
dan diajarkan nabi Saw berbunyi "Mi ah" dan "Miyah" tanpa
memanjangkannya.
Adapun kenapa kok bukan wau (و), maka jawabannya
sangat jelas, karena wau tidak ada keidentikan sama sekali dengan huruf sebelum
atau sesudahnya. Sebagaimana qaidah mad diatas, wau hanya identik dengan
dhommah, sedangkan dalam kata مائة tidak ada satupun huruf yang di dhommah.
4. Kok para
sahabat lebih mengedepankan penulisan yang menggunakan hamzah مائة daripada yang ya' مية?
Iya, sebagaimana perintah Khalifah
Ustman Bin Affan kepada Zaid Bin Tsabit:
وقد ثبت في الصحيح عن عثمان أنه قال للرهط القرشيين
الذين كتبوا المصحف هم وزيد : إذا اختلفتم في شيء فاكتبوه بلغة قريش
Artinya: "Jika kalian mendapati
perbedaan dalam sesuatu (cara penulisan Al Qur'an) maka tulislah dengan bahasa
Quroys.
Nabi Saw adalah orang Quroys, beliau mengucapkan مائة dengan jelas "Mi
ah" bukan "Miyah". Oleh karena sebab perintah ini hamzah
tersebut di proiritaskan dan tetap diadakan dalam tulisan مائة. Adapun ya' tidak
disertakan, cukup huruf alif menjadi tanda perbedaanya sebagaimana di paparkan
diatas.
Mohon koreksi dan tambahan
Wallahu A'lam
Salam Hormat & cinta
Mochamad Ihsan Ufiq
Doha, 7 November 2014
0 Komentar