Dimana mana, tidak hanya di Indonesia saja, mengaji agama langsung ke orang arab memang memiliki kesan kepuasaan dan rasa kebanggan tersendiri. Hal tersebut karena agama ini berasal dari negeri arab, sehingga kalau belajar dari guru atau syekh arab seakan lebih afdhal dan lebih berkah daripada belajar dari asatidz lokal.
Pernyataan ini bisa benar, bisa juga kurang tepat. Tergantung kondisi dan tujuan dasar dibalik mengikuti daurah para masyayikh dari arab. Anggaplah topik kita kali adalah tajwid atau qiraat. Biasanya tujuan mengikuti daurah mereka adalah sebagai berikut:
1. Istifadah maklumat baru.
2. Penambahan wawasan dan pengalaman baru.
3. Tahsin bacaan supaya lebih tepat & fasih.
4. Tabarukan sanad syekh.
Sedangkan mereka yang cuma sekedar mendengar tanpa ada usaha maka dari daurah 1-2 jaman lamanya maka yang diingat hanyalah topik-topik yang memiliki titik tengkar yang diulang-ulang. Atau topik-topik yang paling berbeda dari pemahaman mereka. Namun, semua juga relatif juga.
Adapun mereka yang ikut daurah dan hanya mengikuti penjelasan melalui penerjemah niscaya hasil yang didapat akan kurang dapat maksimal. Yang akan maksimal didapat hanyalah secarik kertas berisi namanya dan nama syekh dari arab tersebut plus berkah majlis ilmu.
Berikut ini 1 ayat yang menegaskan pentingnya belajar dari lisanu qaumihi:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ) إبراهيم/4 )
Artinya, ""Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, agar ia dapat menjelaskan kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Ibrahim: 4).
Sedikit pengalaman penulis tatkala penulis belajar syarah matan as-Syathibiyyah (setelah menghafal ushul as syathibiyyah 444 bait). Penjelasan dari kitab al-Wafi yang dibaca dan diterangkan oleh sang guru syekh Abdun Nasir selama 6-8 bulan lamanya dapat disimpulkan 5% saja yang difahami dan terserap. Padahal kala itu, penulis memiliki bekal bahasa yang dirasa sangat cukup.
95% kesulitan terdapat pada penyerapan bahasa yang berbeda, istilah-istilah, logat arab Mesir yang cepat, rasa gak enak mau bertanya dll. "Harga mahal" yang penulis tebus untuk dapat memahami yaitu belajar lebih keras, merangkum, mencatat, bertanya pelan-pelan di luar kelas dengan teman-teman halaqah. Demikian adalah hasil dari "melanggar" sunnatullah tadi.
1. Jikalau niatan dasar mengikuti daurah yaitu tabarrukan sanad dari syekh maka keduanya (baik peserta yang faham bahasa arab dan tidak) bisa dikatakan beruntung.
2. Meskipun seharusnya di dalam setiap daurah, sepatutnya niatan belajar tidak terfokus pada sanad, namun mendapatkan informasi baru, perbaikan bacaan, pengalaman baru, ilmu baru, wawasan baru. Jika tidak demikian betapa ruginya mengikuti daurah.
3. Peserta yang hanya mengikuti penjelasan dari penerjemah hendaklah lebih aktif lagi di dalam mencatat. Bahwa rangkuman terjemahan dari mutarjim tidak akan bisa menyampaikan detail dan maksud mendalam dari pembicara arab. Ini adalah sesuatu yang haq.
4. Bagi keduanya, lebih afdhal mengikuti daurah para asatidz lokal dimana mereka adalah lisaanul qaum. Mereka lebih mengerti problem kita, solusi yang kita butuhkan apa, dan bagaimana harus berbuat untuk lebih baik.
5. Walhasil, mendalami bahasa arab disini merupakan sebuah keharusan bagi yang ingin mendalami agama lebih dalam, mengingat kekayaan materi keilmuan hampir semuanya tertulis dengan bahasa arab.
6. Bagi yang belum dimudahkan belajar bahasa arab hendaknya jangan terlalu memaksakan kehendak lebih sering mengikuti daurah masyayikh dari luar negeri daripada para asatidz lokal.
Wallahu a'lamu bis showab.
0 Komentar